Desa Sulangai, merupakan
salah satu desa yang ada di Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Desa yang
berbatasan dengan Kabupaten Tabanan itu berjarak sekitar 40 km dari pusat kota
Denpasar. Bagi semeton yang ingin datang ke Sulangai, wajib membawa kendaraan pribadi
baik sepeda motor maupun mobil. Sebab, hampir selama 10 tahun, kawasan Badung
Utara ini tidak dijamah oleh angkutan umum.
Sampai di kawasan desa
Sulangai, kita akan disuguhi pemandangan dari kawasan perbukitan dan sawah yang
masih cukup asri dan sejuk. Desa ini sendiri terdiri dari 3 desa adat yakni
Desa Adat Sulangai, Desa Adat Sandakan dan Desa Adat Batulantang. Nah, Desa
Adat Sulangai terdiri dari 4 banjar, yakni banjar Abing, Wanakeling, Sulangai
dan Wanasari. Sulangai merupakan salah satu desa yang mengempon pura Dang
Kahyangan Pucak Tedung.
Kali ini saya akan
membahas sedikit tentang sejarah Banjar Wanakeling. Sebenarnya, saat ini masih
dalam proses pencarian data tentang keberadaan desa ini. Sebab, sangat sedikit
sumber sejarah baik berupa lontar, prasasti maupun keterangan para penglingsir desa
itu sendiri. Namun sebagai upaya untuk mewujudkan mithologi dan sejarah banjar
Wanakeling, beberapa pengurus desa bahkan sampai mencari sumber-sumber luar
yang mungkin tercatat.
Kata Wanakeling
sesungguhnya bukanlah suatu nama baru, namun nama tersebut sudah disematkan
sejak pertama kali peradaban manusia dimulai di daerah utara Pura Pucak Tedung
itu. Banyak peninggalan purbakala yang ditemukan di banjar ini, seperti
Sarkopagus yang di dalamnya berisi berbagai ukuran gelang dari perunggu.
Berdasarkan cerita dari
Wayan Wiranto (alm) pada tahun 2011 yang lalu. Istilah nama Wanakeling rupanya
berhubungan dengan Babad Mengwi, yaitu perjalanan Raja Mengwi, I Gusti
Agung Gede Agung. Dari perjalanannya itu, Beliau singgah di suatu daerah di
utara Badung, bernama Puncak Mangu yang kini di areal itu menjadi kawasan suci
Pura Luhur Puncak Mangu (Pura Kahyangan Jagat). Dalam perjalanan pulang ke
Mengwi, banyak munduk yang dijumpai diantaranya ; Munduk Semanik, Auman, Munduk
Tiying, Batu Lantang, Munduk Abing, hingga tiba di sebuah munduk yang ditumbuhi
oleh pepohonan lebat layaknya hutan belantara.
Sang raja dan pasukannya lupa diri, linglung, tidak tahu
arah dan tidak menemui jalan keluar dari munduk tersebut. Maka dilihatlah bahwa
matahari muncul dan berada di sebelah selatan sehingga beliau menamakan daerah
itu “sirang ai” yang lama-kelamaan oleh masyarakat disebut sulangai hingga
kini menjadi Desa Pakraman Sulangai.
Kemudian Gusti Agung Gde
Agung bertapa di sebuah munduk ( gundukan tanah yang tinggi), hingga akhirnya
Beliau sadar lalu bangkit dari tapanya dan melanjutkan perjalanan kembali ke
Mengwi. Sebelum melanjutkan perjalanannya, beliau memberi nama munduk tersebut
“munduk keling” yang mana (eling)berarti ingat/mengingatkan.
Sebab dari pertapaanyalah
ia eling, ingat kembali dan dapat meneruskan perjalanannya. Dan diketahui pula
bahwa munduk keling adalah pintu gerbang dari beberapa pelinggih, yakni Pura
Pucak Pegametan, Pucak Alit dan Pucak Tedung. Dalam perkembangannya, munduk
keling ini menjadi wanakeling, dimana wana berarti hutan dan keling sama dengan
eling yang artinya ingat.
Sementara, salah seorang penisepuh yakni Jero Mangku Wayan
Jaga (Alm) yang juga diwawancarai
pada tahun 2011 lalu, menyatakan bahwa “wanakeling” berasal dari kata “wana” yang berarti alas/hutan dan “keling” yang berarti angker. Sehingga wanakeling secra etimologi berarti alas angker.
Konon diceritakan, tempat
itu adalah hutan yang sangat lebat, ada sekumpulan orang yang hendak membabat
hutan tersebut, dan menjadikannya daerah perumahan. Namun satu persatu orang
yang hendak masuk dan menebang pohon itu, menghilang dan tidak kembali lagi. Hingga kumpulan orang itu meyakini bahwa alas
tersebut adalah kawasan yang angker.
Dalam perkembangan selanjutnya dibangunlah
sebuah pura kecil di ujung hutan, yang dinamakan Pura Pucak Sari. Mereka
bersembahyang disana, memohon agar diizinkan
untuk menghuni wilayah tersebut. Hingga akhirnya dibangunlah beberapa rumah
yang sangat sederhana. Penduduk
yang mendiami daerah tersebutlah kemudian menjadi Penyungsung Pura Pucak
Sari. Daerah hutan belantara
tersebut kemudian diberi nama wanakeling, yang sekarang bernama
Banjar Wanakeling, bagian dari Desa Sulangai.
Namun, disadari bahwa
tempat tersebut terdahulu pernah dihuni, karena saat memugar Pura Pucak Sari, ketika
diadakan penggalian ditemukan berbagai perhiasan baik emas, perak, maupun perunggu,
nampaknya dulu pelinggih itu adalah sebuah setra (sema
lawas) atau kuburan. Akan tetapi belum diketahui apakah hal tersebut
ada hubungannya dengan masa datangnya Raja Mengwi ataukah tidak, karena belum
diketahui tahun-tahun ataupun fase-fase perkembangannya.
Di sebelah timur banjar
terdapat beberapa pemandian yang airnya mengalir dari bawah bukit yang disebut dengan anakan pacungan, yang sekarang dikenal dengan pancoran M’bah.
Disebelahnya juga terdapat sungai kecil yang dinamakan anakan
palungan. Di sebelah pancoran juga terdapat goa-goa, yang dibuat pada saat
perang, masa penjajahan, dimana goa
tersebut dijadikan sebagai tempat persembunyian oleh masyarakat waktu itu.
Dari zaman dulu hingga
sekarang masih tetap dilestarikan. Selain sebagai pemandian, pancoran itu juga dijadikan tempat
melukat karena diyakini oleh masyarakat setempat air tersebut dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Itulah sedikit cerita dari banjar Wanakeling,
Desa Sulangai, Petang, Badung. Silahkan berkunjung, jangan lupa bawa jaket yang
hangat dan pakaian adat, siapa tahu semeton juga ingin sembahyang di Pura Pucak
Tedung yang hanya berjarak 1 km Wanakeling.
1 comments
Nice info.. 🙏
ReplyDelete