Sedikit Cerita Tentang Banjar Wanakeling-Sulangai

12:26 AM

Pemandangan sawah di depan rumah, Wanakeling

Desa Sulangai, merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Desa yang berbatasan dengan Kabupaten Tabanan itu berjarak sekitar 40 km dari pusat kota Denpasar. Bagi semeton yang ingin datang ke Sulangai, wajib membawa kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil. Sebab, hampir selama 10 tahun, kawasan Badung Utara ini tidak dijamah oleh angkutan umum.

Sampai di kawasan desa Sulangai, kita akan disuguhi pemandangan dari kawasan perbukitan dan sawah yang masih cukup asri dan sejuk. Desa ini sendiri terdiri dari 3 desa adat yakni Desa Adat Sulangai, Desa Adat Sandakan dan Desa Adat Batulantang. Nah, Desa Adat Sulangai terdiri dari 4 banjar, yakni banjar Abing, Wanakeling, Sulangai dan Wanasari. Sulangai merupakan salah satu desa yang mengempon pura Dang Kahyangan Pucak Tedung.

Kali ini saya akan membahas sedikit tentang sejarah Banjar Wanakeling. Sebenarnya, saat ini masih dalam proses pencarian data tentang keberadaan desa ini. Sebab, sangat sedikit sumber sejarah baik berupa lontar, prasasti maupun keterangan para penglingsir desa itu sendiri. Namun sebagai upaya untuk mewujudkan mithologi dan sejarah banjar Wanakeling, beberapa pengurus desa bahkan sampai mencari sumber-sumber luar yang mungkin tercatat.

Kata Wanakeling sesungguhnya bukanlah suatu nama baru, namun nama tersebut sudah disematkan sejak pertama kali peradaban manusia dimulai di daerah utara Pura Pucak Tedung itu. Banyak peninggalan purbakala yang ditemukan di banjar ini, seperti Sarkopagus yang di dalamnya berisi berbagai ukuran gelang dari perunggu.

Berdasarkan cerita dari Wayan Wiranto (alm) pada tahun 2011 yang lalu. Istilah nama Wanakeling rupanya berhubungan dengan Babad Mengwi, yaitu perjalanan Raja Mengwi, I Gusti Agung Gede Agung. Dari perjalanannya itu, Beliau singgah di suatu daerah di utara Badung, bernama Puncak Mangu yang kini di areal itu menjadi kawasan suci Pura Luhur Puncak Mangu (Pura Kahyangan Jagat). Dalam perjalanan pulang ke Mengwi, banyak munduk yang dijumpai diantaranya ; Munduk Semanik, Auman, Munduk Tiying, Batu Lantang, Munduk Abing, hingga tiba di sebuah munduk yang ditumbuhi oleh pepohonan lebat layaknya hutan belantara.
Sang raja dan pasukannya lupa diri, linglung, tidak tahu arah dan tidak menemui jalan keluar dari munduk tersebut. Maka dilihatlah bahwa matahari muncul dan berada di sebelah selatan sehingga beliau menamakan daerah itu “sirang ai”  yang lama-kelamaan oleh masyarakat disebut sulangai  hingga kini menjadi Desa Pakraman Sulangai.

Kemudian Gusti Agung Gde Agung bertapa di sebuah munduk ( gundukan tanah yang tinggi), hingga akhirnya Beliau sadar lalu bangkit dari tapanya dan melanjutkan perjalanan kembali ke Mengwi. Sebelum melanjutkan perjalanannya, beliau memberi nama munduk tersebut “munduk keling”  yang mana (eling) berarti ingat/mengingatkan.

Sebab dari pertapaanyalah ia eling, ingat kembali dan dapat meneruskan perjalanannya. Dan diketahui pula bahwa munduk keling adalah pintu gerbang dari beberapa pelinggih, yakni Pura Pucak Pegametan, Pucak Alit dan Pucak Tedung. Dalam perkembangannya, munduk keling ini menjadi wanakeling, dimana wana berarti hutan dan keling sama dengan eling yang artinya ingat.

Sementara, salah seorang penisepuh yakni Jero Mangku Wayan Jaga (Alm) yang juga diwawancarai pada tahun 2011 lalu, menyatakan bahwa wanakeling berasal dari kata wana yang berarti alas/hutan dan keling” yang berarti angker. Sehingga wanakeling secra etimologi berarti alas angker.

Konon diceritakan, tempat itu adalah hutan yang sangat lebat, ada sekumpulan orang yang hendak membabat hutan tersebut, dan menjadikannya daerah perumahan. Namun satu persatu orang yang hendak masuk dan menebang pohon itu, menghilang dan tidak kembali lagi. Hingga kumpulan orang itu meyakini bahwa alas tersebut adalah kawasan yang angker.

Dalam perkembangan selanjutnya dibangunlah sebuah pura kecil di ujung hutan, yang dinamakan Pura Pucak Sari. Mereka bersembahyang disana, memohon agar diizinkan untuk menghuni wilayah tersebut. Hingga akhirnya dibangunlah beberapa rumah yang sangat sederhana. Penduduk yang mendiami daerah tersebutlah kemudian menjadi Penyungsung Pura Pucak Sari. Daerah hutan belantara tersebut kemudian diberi nama wanakeling, yang sekarang bernama Banjar Wanakeling, bagian dari Desa Sulangai.

Namun, disadari bahwa tempat tersebut terdahulu pernah dihuni, karena saat memugar Pura Pucak Sari, ketika diadakan penggalian ditemukan berbagai perhiasan baik emas, perak, maupun perunggu, nampaknya dulu pelinggih itu adalah sebuah setra (sema lawas) atau kuburan. Akan tetapi belum diketahui apakah hal tersebut ada hubungannya dengan masa datangnya Raja Mengwi ataukah tidak, karena belum diketahui tahun-tahun ataupun fase-fase perkembangannya.

Di sebelah timur banjar terdapat beberapa pemandian yang airnya mengalir dari bawah bukit yang disebut dengan anakan pacunganyang sekarang dikenal dengan pancoran M’bah. Disebelahnya juga terdapat sungai kecil yang dinamakan anakan palungan. Di sebelah pancoran juga terdapat goa-goa, yang dibuat pada saat perang, masa penjajahan, dimana goa tersebut dijadikan sebagai tempat persembunyian oleh masyarakat waktu itu.

Dari zaman dulu hingga sekarang masih tetap dilestarikan. Selain sebagai pemandian, pancoran itu juga dijadikan tempat melukat karena diyakini oleh masyarakat setempat air tersebut dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Itulah sedikit cerita dari banjar Wanakeling, Desa Sulangai, Petang, Badung. Silahkan berkunjung, jangan lupa bawa jaket yang hangat dan pakaian adat, siapa tahu semeton juga ingin sembahyang di Pura Pucak Tedung yang hanya berjarak 1 km Wanakeling.




You Might Also Like

1 comments