Sedikit menyoroti Gender, Kasta dan Warna
10:38 PM![]() |
Saat yang lain sudah melangkah maju, kita masih saja disibukkan dengan urusan diskriminasi sosial, padahal ajaran-ajaran yang terkandung dalam Veda sungguh luar biasa untuk semesta dan kehidupan manusia. Amerika sudah ke bulan, masihkah kita tetap bergelut dengan hal semacam ini?
Istilah gender sesungguhnya
adalah merujuk pada peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Bukan hanya sebatas
kemerdekaan kaum perempuan. Istilah
gender berasal dari kata gen yang artinya
pembawa sifat embrio laki-laki maupun perempuan. Perbedaan konsep gender secra sosial telah melahirkan perbedaan peran
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Kendatipun gen ini sesungguhnya dimiliki oleh
laki-laki maupun perempuan, namun berikutnya dalam kehidupan sosial justru
melahirkan kelas-kelas. Secara
umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi, dan
bahkan ruang tempat dimana manusia
beraktivitas. Terlebih system patriarki yang dianut oleh masyarakat
Hindu di Bali, hal ini dirasa memasung keberadaan perempuan Hindu-Bali.
Perempuan Hindu Bali mesti
memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan.
Perempuan-Bali tidak hanya termarjinalkan dari sisi adat tetapi juga dari sisi
wangsa/kasta. Bagaimana ketika seorang perempuan dari kasta Ksatrya disunting
oleh laki-laki yang kastanya lebih rendah, bagaimana laki-laki dari kasta
Ksatrya, Wesya, Sudra mengawini perempuan dari kasta Brahmana, maka mereka akan
terkena sanksi adat, peradilan adat yang disebut Raad Kerta dan hukumannya bisa
dibuang ke tengah hutan, bisa juga ditenggelamkan ke samudra. Namun peradilan
macam ini nyaris sudah tidak ada lagi, namun bagi perkawinan yang demikian
masih terasa sanksi moril baik di keluarga maupun di masyarakat.
Padahal kitab suci tidak ada
pembahasan tentang kasta, ini adalah bagian dari politik Majapahit yang
mengaburkan system warna ketika jaman Bali Aga dahulu, dan kekeliruan ini yang
diwarisi hingga sekarang. Dalam Bhagawad Gita IV.13 dinyatakan sebagai berikut
:
Catur varnyam maya srstam
Guna karma vibhagasah
Tasya jarataram api mam
Viddhi akartaram avyayam
Terjemahannya :
Terjemahannya :
Catur warna Aku ciptakan
berdasarkan guna dan karma. Walaupun Aku sebagai penciptanya. Aku mengatasi
gerak dan perubahan.
Lebih
lanjut dalam Yajur Veda XXX.5 disebutkan sebagai berikut :
ya Tuhan
telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, Ksatrya untuk perlindungan,
Vaisya untuk kesejahteraan ekonomi dan Sudra untuk pekerjaan jasmani.
Kendatipun Brahmana adalah
bagian kepala, Ksatrya terlahir dari kedua bahu, Vaisya dari perut dan Sudra
dari kaki, maka ini adalah wujud kesatuan yang harus dimiliki, tidak bisa orang
hidup tanpa kepala, juga tidak bisa menjalankan swadharma dengan baik bila
tanpa kaki, inilah wujud keseimbangan. Maka konsep warna atau profesi perlu
dipahami sebagai dasar fundamental kehidupan masyarakat Hindu khususnya Bali.
Permasalahan yang sering
timbul pula adalah pelaksanaan perkawinan. Kendatipun dalam aturan telah
ditetapkan bentuk perkawinan nyentana ataupun Pade gelahang
sebagai penyelamat keluarga perempuan yang hanya memiliki anak perempuan, namun
realisasinya dalam masyarakat Bali masih sulit. Sesunggunya kedudukan purusa-pradhana adalah sama, hal ini
kemudian diadopsi oleh masyarakat Bali dalam system kekerabatan patrilineal
untuk mempermudah dalam adat juga dalam penentuan waris, sebab laki-laki pada
prinsipnya adalah kepala keluarga.
Hal-hal yang bersifat kodrati biarlah pada masing-masing personal (pria-wanita), namun diluar hal yang kodrat tersebut, semua harus saling menghargai, menghormati dan menyayangi. Tubuh ini adalah sistem, masyarakat adalah sistem, laki-laki dan perempuanpun adalah bagian dari sistem maka semua harus fungsional. Om Lokha Samastha Sukhino Bhavantu, Om Santih......
0 comments